Nah... untuk itu sebelum anda melakukan aborsi, alangkah baiknya anda ketahui dulu beberapa metode aborsi dan efek samping setelah melakukan aborsi, biar anda bisa memikirkan apa dampak negatifnya pasca aborsi. Dan Apa saja metode aborsi di Penjuru Dunia itu ?
- Early medical procedure (hingga pekan ke-9) - Prosedur ini mengadopsi proses keguguran alami dan dilakukan pada pekan ke‐9 atau lebih awal. Prosedur ini diawali dengan pemberian Obat Aborsi tablet mifepristone yang akan menurunkan tingkat hormon kehamilan. Dua hari kemudian, pasien akan diberi 4 tablet prostaglandin. Obat ini dapat membuat uterus (rahim) meluruhkan embrio. Serupa dengan menstruasi, proses ini disertai dengan perdarahan dan kram perut. Obat penghilang rasa sakit dan tablet anti mual dapat diberikan untuk mengatasi masalah ini. Obat-obatan yang digunakan dalam pil aborsi medis bekerja dengan cara membuat serviks menjadi relaks, dan menyebabkan rahim berkontraksi, yang kemudian menghentikan kehamilan. Dengan misoprostol, biasanya dalam waktu 1 sampai 2 jam setelah set pil pertama diserap tubuh, Anda akan mulai merasa kram dan perdarahan terjadi. Aborsi terjadi dalam kurun 24 jam setelah menggunakan set pil terakhir misoprostol. Bisa juga terjadi sebelumnya, dan ini cukup sering.
- Vacuum aspiration procedure (hingga pekan ke-14) - Prosedur ini menggunakan alat bantu berupa tabung hisap untuk mengeluarkan embrio melalui vagina. Biasanya, prosedur ini dilakukan di bawah anestesi umum dan memakan waktu kurang dari 10 menit. Pasien mungkin akan merasakan beberapa gejala nyeri dan tidak nyaman seperti ketika mengalami menstruasi.
- Medical termination (dari pekan ke‐13) - Metode ini mirip dengan early medical procedure. Biasanya pasien akan diberi beberapa dosis prostaglandin langsung melalui mulut dan vagina. Pasien akan dirawat di rumah sakit sekitar dua hari lamanya. Dokter akan mendiskusikan obat pereda nyeri yang cocok bagi pasien.
- Dilatation and evacuation surgery (D&E) (dari pekan ke‐14) - Dilatasi dan operasi evakuasi biasanya dilakukan di bawah anestesi umum dan memakan waktu kurang dari 20 menit. Prosedur ini melibatkan pengosongan uterus melalui vagina dengan menggunakan tabung dan alat khusus.
Risiko yang Mengiringi
Umumnya ada dua metode yang digunakan dalam tindakan aborsi, yaitu menggunakan obat-obatan atau operasi. Kedua metode tersebut sama efektif untuk aborsi masa kehamilan trimester pertama. Sedangkan untuk masa kehamilan trimester kedua dan selanjutnya, lebih aman menggunakan metode operasi.
Proses aborsi dengan menggunakan metode obat pada awalnya akan menghalangi hormon progesteron, sehingga lapisan rahim menjadi tipis. Hal itu kemudian mencegah janin yang tertanam untuk terus tumbuh. Efek obat itu juga akan menyebabkan rahim berkontraksi sehingga embrio akan dikeluarkan melalui vagina. Sedangkan, aborsi dengan metode operasi yang paling umum dilakukan adalah aspirasi vakum. Ada dua alat yang bisa digunakan, yaitu manual vacuum aspiration (MVA) yang menggunakan syringe secara manual untuk mengeluarkan embrio dari rahim atau menggunakan electric vacuum aspirastion (EVA) dengan menggunakan pompa listrik.
Untuk aborsi usia kehamilan lebih dari empat bulan, metode operasi yang digunakan adalah Dilation and Evacuation (D&E). Metode ini menggunakan peralatan operasi untuk membuka leher rahim dan menyedot janin untuk mengeluarkannya dari rahim. Namun harus tetap dipertimbangkan bahwa risiko dari aborsi tidak sedikit. Di antara beberapa risiko yang bisa disebutkan, antara lain pendarahan parah, rusaknya kondisi rahim, atau infeksi akibat aborsi yang tidak tuntas. Beberapa gangguan sistem reproduksi seperti penyakit radang panggul, kemandulan hingga kehamilan ektopik dapat terjadi, jika terjadi infeksi akibat aborsi yang tidak ditangani dengan tepat. Selain itu, kondisi serviks yang tidak optimal lantaran dilakukan aborsi berkali-kali, dapat meningkatkan risiko keguguran di kemudian hari. Semua jenis aborsi memiliki risiko komplikasi dan usia kehamilan turut berperan dalam menentukan tingkat risiko:
- Aborsi kehamilan trimester pertama berisiko cukup rendah yaitu di bawah 0.05 persen.
- Aborsi trimester kedua rata-rata komplikasi meningkat hingga 50 persen atau lebih. Semakin besar usia kehamilan, maka semakin tinggi pula risiko kematian.
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
- Kematian mendadak karena pendarahan hebat
- Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
- Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
- Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
- Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya - Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
- Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
- Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
- Kanker hati (Liver Cancer)
- Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
- Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
- Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
- Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994). Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994). Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:
- Kehilangan harga diri (82%)
- Berteriak-teriak histeris (51%)
- Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
- Ingin melakukan bunuh diri (28%)
- Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
- Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)